Hindu Dharma, Sanàtana Dharma dan Vaidika Dharma.
Dalam  upaya memantapkan pandangan kita  terhadap ajaran Hindu Dharma  terlebih dahulu kami ingin menekankan kembali nama dan sumber ajaran  Hindu atau Hindu Dharma yang kita kenal sebagai satu agama tertua yang  masih dianut oleh umat manusia. Hal ini kami pandang sangat perlu  mengingat sampai sekarang masih ada pandangan dan buku-buku yang  mendiskreditkan agama Hindu dan menganggap agama Hindu sebagai agama  yang tidak bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan Prof. Dr.  Mukti Ali, sebagai tokoh ahli perbandingan agama di Indonesia pada  Kongres Agama-Agama di Indonesia, tanggal 11 Oktober 1993 di Yogyakarta  menyatakan bahwa agama Hindu tidak mengenal missi karena dibatasi oleh  sistem kasta. Bilama Hindu tidak mengenal missi, bagaimana orang  Indonesia di masa yang lalu memeluk agama Hindu?
Siapakah yang menyebarkan agama Hindu ke Indonesia? Selanjutnya tentang  kasta adalah bentuk penyimpanan dan interpretasi yang keliru dari  pengertian Varna sebagai tersebut dalam kitab suci Veda. Yang dimaksud  dengan Varna adalah pilihan profesi sesuai dengan Guóa  (bakat pembawaan  orang) dan Karma (kerja yang dia lakoni) oleh setiap orang.
Dipakai nama Hindu Dharma sebagai nama agama Hindu menunjukkan bahwa  kata Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan  dengan pengertian kata agama dalam bahasa Indonesia.  Dalam kontek  pembicaraan kita saat ini pengertian Dharma disamakan dengan agama. Jadi  agama Hindu sama dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama  yang diberikan oleh orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi   dengan  penduduk  di  lembah  sungai  Sindhu dan ketika orang-orang  Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah sungai Sindhu  mengucapkan Hindu dengan Indoi dan kemudian orang-orang Barat yang   datang kemudian menyebutnya dengan India. Pada mulanya wilayah yang  membentang dari lembah sungai Shindu sampai yang kini bernama Srilanka,  Pakistan, Bangladesh disebut dengan nama Bhàratavarsa yang disebut juga  Jambhudvìpa.  
Kata Sanàtana Dharma   berarti  agama yang bersifat abadi   dan  akan   selalu dipedomani oleh umat manusia sepanjang Nama   asli  dari  agama  ini masa, karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat  universal, merupakan santapan rohani dan pedoman hidup umat manusia yang  tentunya tidak terikat oleh kurun waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma  berarti ajaran agama yang bersumber pada kitab suci Veda, yakni wahyu  Tuhan Yang Maha Esa (Mahadevan, 1984: 13).
Kitab suci Veda merupakan dasar atau sumber mengalirnya ajaran agama  Hindu. Para åûi atau mahàrûi yakni orang-orang suci dan bijaksana di  India jaman dahulu telah menyatakan pengalaman-pengalaman  spiritual-intuisi mereka (Aparokûa-Anubhuti) di dalam kitab-kitab  Upaniûad, pengalaman-pengalaman ini sifatnya langsung dan sempurna.  Hindu Dharma memandang pengalaman-pengalaman para mahàrûi di jaman  dahulu itu sebagai autoritasnya (sebagai wahyu-Nya). Kebenaran yang  tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para mahàrûi dan orang-orang  bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan Hinduisme, oleh  karena itu Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Sivananda,  1988: 4)
Kebenaran tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan oleh  pernyataan yang terdapat dalam kitab Taittiriya Aranyaka 1.9.1  (Dayananda, 1974:LI) maupun maharsi Aupamanyu sebagai yang dikutip oleh  mahàrûi Yàûka (Yàskàcarya) di dalam kitab Nirukta II.11 (Loc.Cit). Bagi  umat Hindu   kebenaran Veda adalah mutlak, karena merupakan sabda Tuhan  Yang Maha Esa. Selanjutnya Úrì Chandrasekarendra Sarasvati, pimpinan  tertinggi Úaýkara-math yakni perguruan dari garis lurus Úrì Úaýkaràcarya  menegaskan : Dengan pengertian bahwa Veda merupakan sabda Tuhan Yang  Maha Esa (Apauruûeyam atau non human being) maka para maharsi penerima  wahyu disebut Mantradraûþaá (mantra draûþaá iti åûiá). Puruûeyaý artinya  dari manusia. Bila Veda merupakan karangan manusia maka para maharsi  disebut Mantrakarta (karangan/buatan manusia) dan hal ini tidaklah  benar. Para maharsi menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa  (Apauruûeyam) melalui kemekaran intuisi (kedalaman dan pengalaman  rohani)nya, merealisasikan kebenaran  Veda, bukan dalam pengertian atau  mengarang Veda. Apakah artinya ketika seorang mengatakan bahwa Columbus  menemukan Amerika ? Bukankah Amerika telah ada ribuan tahun sebelum  Columbus lahir? Einstein, Newton atau Thomas Edison dan para penemu  lainnya menemukan hukum-hukum alam yang memang telah ada ketika alam  semesta diciptakan. Demikian  pula para maharsi diakui sebagai penemu  atau penerima wahyu tuhan Yang Maha Esa yang memang telah ada sebelumnya  dan karena penemuannya itu mereka dikenal sebagai para maharsi agung.  Mantra-mantra Veda telah ada dan senantiasa ada, karena bersifat  Anadi-Ananta yakni kekal abadi mengatasi berbagai kurun waktu. Oleh  karena kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian pribadi mereka, para  maharsi mampu menerima mantra Veda. Para mahàrûi penerima wahyu Tuhan  Yang Maha Esa dihubungkan dengan Sùkta (himpunan mantra), Devatà  (Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda  (irama/syair dari mantra Veda). Untuk itu umat Hindu senantiasa  memanjatkan doa pemujaan dan penghormatan kepada para Devatà dan maharsi  yang menerima wahyu Veda ketika mulai membaca atau merapalkan  mantra-mantra Veda (Chandrasekharendra, 1988: 5).
Kitab suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari  agama-agama yang lain, melainkan terdiri dari beberapa kitab yang  terdiri dari 4 kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Saýhità) yang dikenal  dengan Catur Veda (Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda atau Atharvaveda).  Masing-masing kitab mantra ini memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Àraóyaka  dan Upaniûad) yang seluruhnya itu diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan  Yang Maha Esa yang didalam bahasa Sanskerta disebut Úruti. Kata Úruti  berarti sabda tuhan Yang Maha Esa yang didengar oleh para maharsi. Pada  mulanya wahyu itu direkam melalui kemampuan mengingat dari para maharsi  dan selalu disampaikan secara lisan kepada para murid dan pengikutnya,  lama kemudian setelah tulisan (huruf) dikenal selanjutnya mantra-mantra  Veda itu dituliskan kembali. Seorang maharsi Agung, yakni Vyàsa yang  disebut Kåûóadvaipàyaóa dibantu oleh para muridnya menghimpun dan  mengkompilasikan mantra-mantra Veda yang terpencar pada berbagai Úàkha,  Aúsrama, Gurukula atau Saýpradaya.
Didalam memahami ajaran agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Úruti)  yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tertinggi, dikenal pula  hiarki sumber ajaran agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum  Hindu adalah Småti (kitab-kitab Dharmaúàstra atau kitab-kitab hukum  Hindu), Úìla  (yakni tauladan pada mahàrûi yang termuat dalam berbagai  kitab Itihàsa (sejarah) dan Puràóa (sejarah kuno), Àcàra (tradisi yang  hidup pada masa yang lalu yang juga dimuat dalam berbagai kitab Itihasa  (sejarah) dan Àtmanastuûþi, yakni kesepakatan bersama berdasarkan  pertimbangan yang matang dari para maharsi dan orang-orang bijak yang  dewasa ini diwakili oleh majelis tertinggi umat Hindu dan di Indonesia  disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia. Majelis inilah yang berhak  mengeluarkan Bhisama (semacam fatwa) bilamana tidak ditemukan sumber  atau penjelasannya di dalam sumber-sumber  ajaran Hindu yang  kedudukannya lebih tinggi.
Karakteristik Hindu Dharma
Hindu Dharma memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional  manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang  tidak semestinya  terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir,  kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan pemikiran manusia. Ia  memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan  pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan  kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan manusia dengan  memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan  Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan  ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun  ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma atau  bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang  untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena  itu, segala macam keyakinan/Úraddhà, bermacam-macam bentuk pemujaan atau  sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda,  memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma  dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara  yang satu dengan yang lainnya.   
Tentang kemerdekaan memberikan tafsiran terhadap Hindu Dharma di dalam  Mahabharata dapat dijumpai sebuah pernyataan : "Bukanlah seorang maharsi  (muni) bila tidak memberikan pendapat terhadap apa yang dipahami"  (Radhakrishnan, I, 1989: 27). Inilah salah satu ciri atau karakteristik  dari Hindu Dharma. Karakteristik atau ciri khas lainnya yang merupakan  barikade untuk mencegah berbagai pandangan yang memungkinkan tidak  menimbulkan pertentangan di dalam Hindu Dharma adalah Àdikara dan Iûþa  atau Iûþadevatà (Morgan, 1987: 5). Àdikara berarti kebebasaan untuk  memilih disiplin atau cara tertentu yang sesuai dengan kemampuan dan  kesenangannya, sedangkan Iûþa atau Iûþadevatà adalah kebebasan untuk  memilih bentuk Tuhan Yang Maha Esa yang dijelaskan daalam kitab suci dan  susatra Hindu, yang ingin dipuja sesuai dengan kemantapan hati.
Svami Sivananda, seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaya  (kini Malaysia) kemudian meninggalkan profesinya itu menjadi seorang  Yogi besar dan rohaniawan agung pendiri Divine Life Society menyatakan :  Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah  gaambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona  keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang  berbeda-beda dalam Hindu Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu  sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemahaman dan tempramen, sehingga  menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal  ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma; karena dalam Hindu  dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang tertinggi  sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka (1984:  34).
Sejalan dengan pernyataan ini Max Muller mengatakan bahwa Hindu Dharma  mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma merangkum  semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas dan Dr.K.M.  Sen mengatakan bahwa dengan definisi Hinduisme menimbulkan kesulitan  lain. Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tuumbuh perlahan  dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar pada saat  tertentu (Natih: 1994: 116).
Pernyataan-pernyataan di atas adalah benar sebab dalam ajaran agama  Hindu dikenal banyak jalan atau cara mencapai Brahman, Tuhan Yang Maha  Esa dengan ribuan Udbhava  (manifestasi)Nya dengan nama-Nya  berbeda-beda. Tuhan Yang Maha Esa, melalui Avatàra-Nya Úrì Bhagavàn  Kåûóa dalam  kitab suci Bhagavadgìta (IV.7) secara tegas menyatakan :
                         "Kapan saja dan dimana Dharma itu merosot
                            (mengalami keruntuhan) pada saat itu Aku
                         sendiri menjelma, wahai Kuntiputra".
Jadi bila kejahatan merajalela, terjadi kemerosotan dan kehancuran moral  manusia, padaa saat itu Tuhan Yang Maha Esa akan turun untuk  menyelamatkaannya. Walaupun karakteristik ajaran Hindu Dharma  sebagai  telah diuraikan di atas, tidaklah berarti ajaran agama Hindu itu tidak  jelas dan menafsirkannya di luar kewenangan dan jangkauan kitab suci.  Memang kelihatan demikian banyaknya variasi di dalam Hindu Dharma, namun  sesungguhnya ajarannya dimana-mana dan kapan saja sama. Essensi ajaran  Hindu Dharma yang bersumber dan mengalir dari kitab suci Veda dengan  susatra Hindu lainya yang ditulis dalam berbagai bahasa dirumuskan dalam  ajaran Úraddhà (Tattva)  atau keimanan, dilaksanakan dan diejawantahkan  dalam prilaku Tata Suúìla  atau budi pekerti berdasarkan ajaran Dharma  dan ekspresinya nampak pada dalam Àcàra Agama.
Ajaran Úraddha yang merupakan dasar keimanan Hindu Dharma dirumuskan  dalam Pañca Úraddhà, yakni keyakinan terhadap Brahman, para dewa  manifestasi-Nya dan Avatàra-Nya, keyakinan terhadap kebenaran Àtman, roh  atau jiva yang menghidupkan semua mahluk dan Atman merupakan  percikan-Nya (Brahman/Tuhan Yang Maha Esa) Yang Trancendent maupun Yang  Immanet. Úraddha, keyakinanatau keimanan yang ketiga adalah terhadap  kebenaran adanya Karmaphala (hukum perbuatan), keimanan yang  keempat  adalah keyakinan terhadap penjelmaan kembali, Saýsàra (rebith) dan yang  kelima adalah Mokûa, yakni kebebasan tertinggi yang mesti dicapai umat  manusia, bersatunya Atman dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran Hindu Dharma tidaklah ada artinya bila tidak diamalkan oleh  pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana seharusnya sebagai  mahluk individu, sosial yang hidup bersama menikmati kemurahan Bunda  Pertiwi bersama makhluk hidup lainnya. Semuanya itu dijelaskan dalam  ajaran Tata Suúìla Hindu Dharma, yang merupakan pedoman yang harus  dilakoni oleh setiap umat. Aspek Àcàra sangat komplek menyangkut  berbagai aktivitas keagamaan terutama bidang ritual dengan berbagai  kaitannya dan hal ini oleh karena sifatnya berbagai bentuk atau wujud  pengalaman ajaran yang kasat mata, maka faktor lingkungan alam dan  budaya yang menekankan keharmonisan memberikan rona dan mewarnai  perbedaan-perbedaan praktek-praktek ritual/keagamaan. Demikianlah  keanekaragaman  dalam bentuk luarnya, namun memiliki satu keragaman dan  satu tujuan yakni sebagai dijadikan motto oleh Sri Ramakrishna Mission :
             "Àtmanaá Mokûàrthaý Jagadhitàya ca"
            (merealisasikan Sang Diri, Atman yang tidak lain adalah  percikan Tuhan Yang Maha Esa             untuk mewujudkan kesejatraan  lahir kebahagian batin (Mahadevan, 1984: 297) 
Mewujudkan Jagadhita (kesejatraan lahiriah) dan Mokûa (kebahagian yang  sejati) adalah tujuan Hindu Dharma dan juga sekaligus pula tujuan hidup  manusia. Motto Sri Ramakrishna Mission, sebuah organisasi sosial  keagamaan yang didirikan oleh Swami Vivekananda untuk menghormati  gurunya, yang bernama Sri Ramakrishna di atas tersebut oleh Drs. Ida  Bagus Oka Punia Atmaja (1970 : 5) dijadikan sebagai rumusan tujuan agama  Hindu dalam formulasi Mokûàrthaý Jagadhitàyaca iti Dharmaá. Formulasi  ini secara tidak langsung mendapat pengukuhan Parisada Hindu Dharma  Indonesia Pusat, karena formulasi tersebut pertama kali kita jumpai  dalam buku Upadesa yang diterbitkan dan mendapat rekomendasi dari  majelis ini. Kemudian dalam setiap buku yang terbit setelah buku Upadesa  ini, selalu merumuskan tujuan agama Hindu seperti tersebut dan rumusan  ini sangat membantu umat Hindu dalam memahami tujuan agamanya.
Awal Pertumbuhan Hindu Dharma
Adalah sangat sulit untuk menyatakan secara tegas awal pertama dan  tempat dimulainya pertumbuhan agama Hindu. Seperti telah disebutkan pada  bagian awal dari tulisan ini, nama agama Hindu atau Hindu Dharma ini  sedemikian rupa berkembang dan bahkan diberikan oleh orang-orang Barat  yang datang ke India. Hindu Dharma dewasa ini mengacu  berbagai sumber  baik tradisi maupun utamanya adalah kitab suci Veda sebagai sumber.  Secara sederhana unsur atau sumber dari Hindu Dharma dewasa ini  meliputi:
1. Tradisi penduduk asli India, yang berasal dari jaman batu sejak  500.000 tahun yang lalu yang hingga kini masih diyakini dan dipraktekkan  oleh beberapa penduduk asli atau àdivàsi.
2. Pengaruh dari peradaban lembah sungai Sindhu, yang dapat ditemukan  kembali sekitar pertengahan abad yang silam yang membentang dari India  Barat Laut ke India Utara.
3. Pengaruh dari budaya Dravida kuno, yang nampak pada budaya Tamil  dewasa ini yang juga memperlihatkan pengaruh peradaban lembah sungai  Sindhu.
4. Ajaran dan kebudayaan Veda yang dibawa oleh bangsa penakluk, yakni  suku bangsa Arya yang kemudian menjadi pemukim India yang kemudian  pengaruhnya sangat luas dan menyeluruh, hampir di seluruh bagian India  (Klostermaier, 1990: 31).
Hingga saat ini masing terdapat pendapat yang kontroversial yang  menyatakan bangsa bangsa Arya sebagai bangsa Indo-German yang berasal  dari Eropa yang menaklukkan India, karena sebagian sejarawan India  menyatakan bahwa bangsa ini berasal dari India Utara atau dari bagian  Tengah Himalaya. Pemberian nama Sanàtana Dharma adalah sangat umum  terhadap agama Hindu di India menunjukkan penekanan yang berbeda  terhadap makna istilah ini. Nama Sanatàna Dharma ini pada abad ke-9  Masehi lebih dipopulerkan lagi oleh Úrì Úaýkaràcarya dengan mendirikan  perguruan keagamaan yang sangat berpengaruh untuk menghadapi  perkembangan Buddhisme dan Jainisme dengan mengembangkan dan  menyebar-luaskan duta dharmanya ke seluruh penjuru India dan pada tahun  1875 Swami Dayananda Sarasvati mendirikan Àrya Samaj, yang mempopulerkan  bahwa Sanàtani Pauràóika (Sanàtana Dharma yang bersifat Pauràóika)  adalah tidak murni dan menyatakan bahwa Àrya Samaj adalah Sanàtana  Dharma yang sejati berdasarkan Veda. Namun dalam perkembangan terakhir  pengertian Sanàtana Dharma meliputi pula Jaina, Buddha, Sikh dan semua  Sampradaya atau sekta dalam Hinduisme.
Dewasa ini sebagian umat Hindu lebih menekankan pengertian terhadap  agama mereka dalam bentuk Sampradaya seperti Úaiva (pemuja Úiva),  Vaiûóava (pemujja Viûóu), Úàkta (pemuja sakti) atau nama lainnya sesuai  dengan pengelompokan yang mereka ikuti pada umumnya di bawah bimbingan  seorang Yogi besar. Selanjutnya pengertian yang bersifat lebih spesifik  terhadap Hindu Dharma dikemukakan oleh pimpinan Viúva Hindu Parisad,  Organisasi Hindu Sedunia yang didirikan bulan Januari 1964 yang  melaksanakan sebuah pertemuan yang amat bersejarah di kota Prayàga  (Allahabad), pada saat itu bertepatan dengan upacara besar mandi suci  yang disebut Kumbha Mela. Pertemuan itu mencoba merumuskan pengertian  tentang Hindu Dharma yang didasarkan atas keyakinan, upacara yang umum  serta menerbitkan sebuah buku pedoman, dalam rangka menyatukan  pandangan  dalam rangka kesatuan bagi penganut Hindu.
Memang sangat sulit untuk menentukan sejak kapan sesungguhnya dimulainya  perkembangan agama itu. Bila kita mendasarkan pada dokumen tertulis  maka tidak ada yang lain kecuali kembali kepada kitab suci Veda,  khususnya kitab suci Ågveda dan tentang Ågveda ini Maurice Winternitz  dalam bukunya A History of India Literature, Vol.I (1927) menyatakan  bahwa: Veda (Ågveda) adalalah pustaka monument tertua Indo-Eropa.  selanjutnya ia menyatakan: Bilamana kita ingin mengerti tentang  kebudayaan Indo-Eropa tertua, kita mesti pergi ke India yakni tempat  susastra tertua orang-orang Indo-Eropa disimpan. Apapun pandangan kita,  kita boleh menerima berbegai perosalan tentang kekunaan, tetapi  sesungguhnya secara ringkas dapat kami nyatakan bahwa Ågveda  adalah  susastra monumental tertua Indo-Eropa yang kita miliki.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Bloomfield dalam bukunya The  Religion of Veda, yang menyatakan bahwa Ågveda bukan saja dokumen tertua  umat manusia, tetapi juga dokumentasi di Timur yang paling tua.  Susastra ini lebih tua dari Yunani  maupun Israel dan memperlihatkan  peradaban yang tinggi di antara mereka, yang dapat ditemukan dalam  mantra-mantra Ågveda (Radhakrishnan, 1990: 29). Namun di samping dokumen  tertulis ini kita tidak dapat melepaskan kita terhadap peninggalan  kepurbakalaan India, khususnya peninggalan prasejarah  berupa lukisan  pada dinding goa di Bhimbetka (sekitar 30.000 Sebelum Masehi) yang baru  ditemukan pada tahun 1967  dan kita tidak mengetahui apakah atau  bagaimana hubungan orang-orang yang menciptakan peninggalan tersebut  dengan penduduk India dewasa ini. Keagamaan penduduk asli (àdivàsi)  menunjukkan pengaruh kuat dari agama Hindu, dan kurang lebih ajaran  Hindu yang bersifat universal seperti kelahiran kembali dan perpindahan  jiwa rupanya berasal dari di antara penduduk asli itu. Pengetahuan kita  tentang peradaban lembah sungai Sindhu adalah fragmentaris, peninggalan  berupa huruf/tulisan belum dapat dibaca, uraian  tentang budaya non  material dari orang-orang lembah sungai Sindhu di dasarkan pada sedikit  perkiraan belaka.  Beberapa peninggalan berupa stempel dan terakota  (dari tanah liat) yang berbentuk wajah manusia dihubungkan dengan  pemujaan kepada Úiva dan Úakti. Dari kerangka yang ditemukan, menyatakan  bahwa ras mereka bercampu dan umumnya kota-kota ha ncur karena kekuatan  yang tiba-tiba. Untuk sementara waktu dihubungkan dengan ivasi dari  suku asli Àrya, yang kitab sucinya adalah Ågveda, yang sering disebut  menghancurkan pusat kekuasaan dan pola irigasi mereka. Pendapat  baru-baru ini mengatakan bahwa  kota itu hancur secara perlahan akibat  kekeringan pada dasar sungai Sindhu, dan sisa kehancuran dari bangsa  Àrya sangat kecil.  Pendapat yang lain menghubungkan bahwa leluhur  orang-orang Tamilke Mohenjo-Daro dan Harappa, Dravida Kuno diduga  berpindah ke selatan dan hingga kini bermukim di Tamilnadu, tetap  memelihara peninggalan lembah sungai Sindhu, mitologi dan dewa-dewa  mereka, yang kita temukan kembali di dalam agama yang bersifat Brahmana  sesuai kitab-kitab Puràóa, Saýhità dan Àgama (Klostermaier, 1990: 35).
Elemen Budaya Bangsa Arya di dalam Hindu Dharma
Perpindahan bangsa Àrya sangat penting sepanjang sejarah India, yang  secara kuat membentuk atau mempolakan agama Hindu. Dengan tidak  mengurangi arti bahwa para imigran itu memiliki agama yang sama, namun  kenyataannya bahwa mereka dibedakan atas lima kelompok yang di dalam  kitab suci Veda disebut Pañca Janaá. Mereka menyebut diri mereka àrya,  yang terhormat, orang-orang yang memiliki kedudukuna dan kualitas,  menunjukan arogansi terhadap mereka yang berkulit hitam, hina. Seperti  telah disebutkan di depan, tentang asal muasal bangsa Àrya, B.G. Tilak  menyatakan mereka berasal dari bagian kutub Utara dan pindah ke India  sekitar 6.000 Sebelum Masehi. F. E Pargiter, seorang sarjana besar  Puranic (ahli Puràóa), mengidentifikasikan bangsa Àrya dalam Veda dengan  Aila dalam Puràóa, dan menyatakan bahwa bangsa Arya datang ke India  sekitar 2.050 Seb. Masehi dari tengah-tengah pegunungan Himalaya dan  pertama kali menetap di Pràyàga, dari sini kemudian mereka menyebar  menuju ke arah Barat Laut. Walaupun pendapat Pargiter ini dipandang  cukup kuat, namun para ahli Timur (Indologist) pada umumnya tetap  mendukung teori yang menyatakan bahwa bangsa Àrya datang ke India  berasal dari barat Laut, apakah dari Selatan Rusia atau dari Iran,  setelah pecah yang kemudian sebagian menjadi orang Iran dewasa ini.  Mereka sampai ke India antara 1.500-1.200 Sebelum Masehi dalam beberapa  gelombang, menyebar ke Timur dan Selatan. Runutan sejarah India Kuno  merupakan lapangan study yang sangat sulit, dengan berbagai metodologi  yang secara radikal berbeda-beda dikembangkan oleh para ahli,  mengakibatkan sangat sulit menentukan tanggal yang pasti, oleh karenanya  secara ekplisit maupun implisit menolak hasil riset yang dilakukan oleh  ahli yang lain.
Bertentangan dengan budaya urban dari peradaban Harappa, bangsa Àrya  membawa relatip sederhana budaya desa dengan sistem kekerabatan yang  patriarchat. Meskipun terdapat perkiraan yang kuat tentang institusi  Bramanisme dan inti dari Ågveda sendiri menambahkan infomasi tenga  penyerangan bangsa Àrya ke India, keduanya berhubungan demikian dekat  dan demikian masa awal dimaksudkan untuk semua tujuan praktis, secara  ringkas dapat dikatan bahwa agama Veda  tidak lain adalah aturan sistem  pemujaan dari bangsa Àrya. Sejak jaman Vìracarita dan Puràóa yang  kemungkinan pada masa yang bersamaan, menggambarkan aspek yang populer  dari agama Hindu Kuno, yang  diyakini berasal dari masa awal dalam  mellengkapi ajaran suci Veda.
Sejak awal kita dapatkan informasi tentang struktur masyarakat Àrya yang  menempatkan kedudukan pertama bagi para Bràhmaóa dan Kûatrìya, Vaiûya  melaksanakan kebebasan untuk bertani, beternak, sebagai artis dan  berdagang, dan Úudra menyediakan tenaga dan pelayanannya kepada semua  orang. Di luar struktur ini terdapat penduduk asli, yang nantinya  berasimilasi secara alami. Demikian juga masalah perbudakan kita temukan  dalam sejarah India Kuno. Para Bràhmaóa adalah pelaksana Yajña, upacara  korban yang sangat penting. Mantra-mantra pemujaan senantiasa  berhubungan dengan Yajña dan diwariskan turun temurun secara lisan dari  generasi ke generasi berikutnya, dan dipertahankan dari pengaruh luar.  Tradisi agama yang tersimpan dalam Itihàsa dan Puràóa dikenal adanya  mùrti (arca) dan maóðir (pura), mujizat (keajaiaban), mitologi dan hal  ini sangat populer dan kadang-kadang menggantikan agama Veda. Upacara  Veda hingga kini  berlangsung dalam bentuk yang berbeda-beda. Namun  kenyataannya dalam tradisi upacara korban nampak pengaruh local,  dilaksanakan dan mendomonasi lingkup agama Hindu.
Di dalam kitab-kitab Puràóa disebutkan Åûi Agastya, seorang missionaris  dari bangsa Àrya yang bertanggung jawab dalam penyebaran agama Hindu di  India Selatan. Pengaruh Hindu selanjutnya berkembang sampai Asia  Tenggara dan Indonesia selama masa keemasan India. Meskipun untuk  beberapa abad agama Buddha dan jaina juga mengklaim banyak pengikut dan  berkembang di bawah patron  raja dinasti Gupta di India Utara dan  Pallava di Selatan, namun tersapu bersih  oleh supremasi agama Hindu.  Para Bràhmaóa yang memegang tradisi Veda, teristimewa filsafat Vedànta  berhasil memenuhi keinginan masyarakat dengan memberikan berbagai jalan   melalui berbagai Sampradaya atau sekta seperti Úaiva, Vaiûóava dan  terakhir adalah Úakta. Demikianlah secara teratur  gerakan missionaris  (Dharmadùta) menyebar luaskan berbagai kitab seperti Bhagavadgìta,  Ràmàyaóa dan Bhàgavata Puràóa.  Secara geografis Úaiva dominan di India  Selatan, Vaiûóava berkembang di Utara, sementara itu di Bengal  (Benggala) , Assam dan Orissa berkembang  pesat Úakta dan pengaruh yang  terakhir ini sampai ke Indonesia dan khususnya Bali. Upacara dan  perayaan Galungan mengingatkan perayaan Durgàpùjà di India
Hinduisme dan Budaya Bali
Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas dengan  perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama  Hindu di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di  India. Sejarah dan perkembangan Hinduisme  di Indonesia, berdasarkan  bukti-bukti sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5 Masehi, terutama di  Kalimantan Timur (pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja  Mùlavarman dan di Jawa Barat oleh raja Pùrnavarman) yang datang dari   India Selatan. Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah  ditandai dengan pendirian “Lingga” oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Saka  atau 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri dinasti Matarama Kuno.  Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang disusul dengan  dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hindusime di  Jawa Timur (berdasarkan  prasasti Dinoyo, Malang) dan di Bali. Di Bali  sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa  Tangah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum  abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen  prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari  segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang  memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang  diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari  dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh  para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu  kemungkinan ketika utuh berbunyi:  “Siva Siddhanta”. Dengan demikian  pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah  berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya  menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam  diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran  agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup  panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk  secara perlahan-lahan sebelum abad k2-8 Masehi. Bukti lain yang  merupakan awal penyebaran Hinduisme di Bali adalah ditemukannya arca  Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut  merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang  berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari  periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi,  menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa  Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani,  menunjukkann kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan  Buddha di Bali  dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama  tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni Hinduisme.  Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme  di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri  pada masa pemerintahan  raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut  menjadi agama negara.
Di samping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu  dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya  datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian .  Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung,  kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar).  Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang  menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang  mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan)  yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga  dijumpai peninggalan-peninggalan  yang menunjukkan masuknya agama Buddha  Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui  dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan,  Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih,  Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad  ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan  berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin  berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan  Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja  Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan  awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada  saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini  luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu  yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya  raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada  masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni  prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno  dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan  dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan  raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspediri Majapahit  dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.
Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14)  pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja  Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat  Senapati i Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan  kegamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta  yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926)  jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata,  Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan  Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta  (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu,  Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat  dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta  dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain:  Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur  Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan  oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan  Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati i Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih  populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut  dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi  pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini.  Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan  baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi),  di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit  ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan  “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh  Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar  Waturenggong  (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja  bernama Danghyang Nirartha  (Dwijendra) sangat berperanan. saat itu  kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang diminan, di  samping dakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang  Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini,  walaupun disebut sebagai Hinduisme atau agama Hindu (Hindu Dharma),  unsur-unsur ketuga sekta tersebut masih dapat diamati.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama  Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma  yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan diaplikasikan dalam  kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana,  yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama  dan dengan bumi serta lingkungannya.
Bila kita melihat bermacam-macam kebudayaan daerah yang terdapat di  Indonesia, maka nampak jelas perbedaan antara budaya atau kebudayaan  Bali dengan budaya dan kebudayaan daerah lainnya. Populernya Bali di  seluruh penjuru dunia adalah karena kebudayaannya yang luhur dan indah  itu, tentu pula di samping potensi alamnya tempat budaya Bali tumbuh dan  berkembang. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan antara agama  Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa  agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu  dijelaskan, bahwa kedudukan agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya  Bali adalah merupakan jiwa dan nafas hidup dari budaya danm kebudayaan  ini.
Agama Hindu dapat disebut sebagai isi, nafas dan dan jiwa dari budaya  Bali sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan  sifat ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya setempat.  Agama Hindu ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, di sanalah  lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan  agama sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan bentuk  air di dalam wadah itu. Demikianlah hubungannya agama Hindu dengan  budaya atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan  perbedaan dalam pengamalan ajaran agama oleh umatnya, karena agama Hindu  di manapun dianut oleh pemeluknya, ajarannya selalu sama, univesal dan  bersifat abadi.
Dalam hubungannya dengan kebudayaan Bali, agama Hindu yang merupakan  jiwa, inti atau fokus budaya itu memancar pada: (1). pandangan hidup  masyarakat Bali, (2). seni budaya Bali, (3). adat-istiadat dan hukum  adat yang merupakan pangejawantahan dari hukum Hindu dan (4). organisasi  sosial kemasyarakatan tradisional seperi desa Adat, Subak dan  lain-lain. Jalin menjalinnya berbagai aspek budaya yang bernafaskan  ajaran Hindu. Aspek-aspek budaya inilah merupakan mosaik kebudayaan Bali  dewasa ini.
Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas secara singkat dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Agama Hindu sebagai agama yang tertua tumbuh dan berkembang tidak  terlepas dengan pengaruh dan dukungan lingkungan alam dan budaya dari  suatu masyarakat pendukungnya. Demikianlah pada awalnya tidak terlepas  dari peradaban lembah Sindhu dan pengaruh lokal di India Utara, Selatan  atau Timur.
2. Nama Hindu bukanlah nama asli dari agama ini, melainkan diberikan  oleh orang asing yang mengadakan kontak dengan bangsa Àrya yang pertama  kali menetap di lembah sungai Sindhu kemudian menyebar ke berbagai  penjuru  India dan berasimilasi dengan  berbagai suku bangsa asli di  anak benua tersebut. Hinduisme kemudian berkembang di Nusantara  (Indonesia) termasuk Bali dengan warna luarnya sendiri.
3. Nama asli agama Hindu adalah Sanàtana Dharma (karena ajarannya  bersifat abadi dan berlaku sepanjang masa). Nama lainnya adalah Vaidika  Dharma, karena bersumber pada kitab suci Veda.
4. Karakteristik agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat-Nya, namun  masih dalam koridor yang disebut Àdikara (disiplin diri) dan Iûþadevatà  (aspek Tuhan Yang Maha Esa, yang dipuja dan sangat didambakan kasih dan  karunia-Nya.
5. Dalam perkembangan agama Hindu dikenal adanya berbagai Sampradaya  yang oleh orang Barat disebut Sekta, dan yang sangat dominan dan juga  berpengaruh ke Indonesia adalah Úaiva,Vaiûóava dan Úakta sedang di Bali  yang dominan adalah Úaiva Siddhanta (Tri Murti) yang sangat kental  mendapat pengaruh Tantrik.
6. Budaya Bali merupakan ekspresi dari agama Hindu, semua aspek budaya  Bali senantiasa diabdikan untuk kemuliaan agama Hindu, demikian pula  sebaliknya agama Hindu senantiasa menjiwai semua aspek budaya tersebut.  Hubungan antara agama dan budaya Bali sangat sulit dipisahkan, bagaikan  jalinan tenun ikat Bali yang mempesona.
Daftar Pustaka
Chandrasekharendra Sarasvati, Úrì.1988. The Vedas. Bombay, India: Bharatiya Vidya Bhavan.
   
Dayananda Sarasvati, Úrì Swami.1974.  The Ågveda. Tr.Acharya Dharma Deva Vidya
Martanda, Volume I, New Delhi:  Sarvadeshik Arya Pratinidhi  Sabha.
Klostermaier, Klaus, K.1990. A Survey of Hinduism. New Delhi, India:  Mushiram Manoharlal.
                                                 
Mahadevan, T.M.P. 1984. Outlines of Hinduism. Bombay, India: Chetana.
   
Mahari Natih, G.1994. Peranan Umat Beragama dalam memantapkan Kesatuan  Bangsa, Makalah Menyambut Nyepi Tahun 1916 Úaka, dalam Umat Beragama dan  Persatuan Bangsa, Jakarta: Pahara Nyepi 1916 Úaka, Korpri-ABRI-Umat  Hindu.
Nehru, Jawaharlal. 1960.  The Discovery of India. London, United Kingdom: Meridian Book.
Oka Punia Atmaja,  I B. 1970. Pañca Úraddhà. Denpasar:  Parisada Hindu Dharma Pusat.                                   
Pendit, Nyoman S.1970. Bhagavadgìtà. Jakarta: Ditjen Bimas Hindu dan Buddha,  Departemen Agama R.I.
Radhakrishnan, S. 1990. The Principal Upanisads: Bombay-New Delhi: Oxford University Press.
Úivananda, Úrì Swami. 1988.  All About Hinduism, Sivanandanagar, Uttar Pradesh, India: Divine Life Society.